Dewasa
ini seminar atau pelatihan sudah bukan hal yang asing lagi, hampir setiap
lembaga pendidikan atau peruasahaan-perusahaan ternama sudah melaksanakan
seminar atau pelatihan untuk karyawan-karyawannya, perisaingan di luar pun
sangat ketat sehingga Organisasi atau
perusahaan bisnis jika ingin bertahan dalam suatu lingkungan persaingan, pada
umumnya harus memiliki sejumlah sumber daya yang dijadikan andalan untuk
bersaing dengan perusahaan lainnya (Hetami, 2008). Sehingga manejemen pelatihan
itu sangat di perlukan.
Soeprihanto, 2001 dalam Alhempi, Raden (2013)
menyatakan bahwa pelatihan adalah kegiatan untuk memperbaiki kemampuan karyawan
dengan cara meningkatkan pengetahuan dari ketrampilan operasional dalam
menjalankan suatu pekerjaan. Sejalan dengan itu, Mangkunegara, Anwar Prabu
(2011) berpendapat bahwa pelatihan adalah suatu proses pendidikan jangka pendek
yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir dimana pegawai non
manajerial mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan
terbatas. Notoadmodjo, Soekidjo (2009) mengatakan pelatihan merupakan bagian
dari suatu proses pendidikan yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan atau
memperoleh keterampilan khusus bagi seseorang atau sekelompok orang. Dengan
demikian pelatihan merupakan upaya untuk meningkatkan pengetahuan atau
meningkatkan keterampilan khusus yang di miliki oleh setiap individu.
Setiap
individu memiliki keterampilan khusus tersendiri sehingga dengan adanya
pelatihan dapat membantu dan meningkatkan keterampilan khusus tersebut. Selain
itu dengan adanya pelatihan dapat memberikan motivasi tersendiri untuk pekerja
atau peserta pelatihan tersebut, pekerja juga bisa jadi menjadi pekerja yang
lebih giat dan lebih semangat lagi dalam melaksanakan tugasnya
Di lain sisi pun banyak kendala dalam permasalahan-permasalahan
di organisasi. Suatu gejala (a symptoms) yang membutuhkan pengatasan suatu
masalah yang diakibatkan oleh suatu atau beberapa faktor. Sebangkan penyebab
munculnya gejala merupakan faktor yang harus diubah untuk menghilangkan masalah
organisasi. Blanchard & Huszezo mencontohkan adanya tujuh gejala organisasi
yang membutuhkan pengatasan yaitu : 1. Low productivity. 2. High absenteeism.
3. High turnover. 4. Low employee morale. 5. High grievances. 6. Strikes. 7.
Low provitability.
Terdapat berbagai macam argumentasi yang dapat
menjelaskan mengapa organisasi tidak memiliki komitmen tinggi terhadap
pelatihan. Kesemuaan argumentasi tersebut mengarah pada persepsi manajer yang
secara rinci dikonseptualisasikan oleh Krause (1996) kedalam lima mitos
pelatihan.
1. Manajer beranggapan bahwa semua pekerja yang ada
sudah memeiliki pengalaman yang memadai. Manajer beranggapan bahwa semua
pekerja yang ada sudah memiliki pengalaman sehingga tidak memerlukan lagi
pelatihan karena semua proses pekerjaan sudah dikuasai berdasarkan pengalaman
kerja yang mereka miliki selama bertahu-tahun. Jadi manajer disini dianggap
sebagai pimpinan yang tidak mengikuti perubahan dan kemajuan zaman serta
menandakan bahwa dirinya tidak mampu membedakan antara experience dengan
competence.
2. Pelatihan sudah pernah diadakan namun tidak
memiliki hasil yang signifikan bagi kemajuan organisasi mitos seperti ini
dianggap paling berpengaruh bagi persepsi manajer untuk meniadakan program
pelatihan karena dianggap sebagai pemborosan belaka. Persepsi tersebut dapat
diubah dengan penyadaran bahwa pelatihan bukanlah sekedar sebuah entertainment
event tetapi lebih merupakan sebuah proses yang terus menerus dan akhirnya
memberi penguatan individual dan organisasional.
3. Manager beranggapan bahwa organisasi yang
dipimpinnya terlalu kecil untuk mampu mengadakan pelatihan. Harus diingat bahwa
pelatihan tidak memandang apakah organisasi itu besar atau kecil. Program
pelatihan berlaku bagi semua organisasi dan dalam segala ukurannya. 4. Manajer
beranggapan bahwa program pelatihan membutuhkan biaya yang sangat besar
sehingga mengurangi kekuatan organisasi atau bahkan mengganggu struktur
anggaran belanja perusahaan. Manajer yang beranggapan seperti ini tida
pempertimbangkan bahwa biaya untuk sebuah incompetence yang melekat pada
karyawan sesungguhnya akan lebih besar jumlahnya dari pada untuk sebuah
pelatihan
5. Manajer selalu
berpikir bahwa organisasi tidak memiliki waktu lagi untuk melatih karyawan (we
do not have time). Pelatihan dianggap sebagai pemborosan biaya juga dinilai
sebagai buang-buang waktu.
PRINSIP-PRINSIP PELATIHAN
Pengetahuan, pemahaman, sikap, dan keterampilan
merupakan sebuah kompetensi dasar yang di miliki oleh seseorang dan diperoleh
melalui proses belajar. Proses belajar dapat dilakukan dengan sengaja dapat
juga tanpa rencana. Proses belajar itu dapat secara terprogram (seperti dalam
pendidikan formal di persekolahan dan pendidikan nonformal seperti di
masyarakat) maupun tanpa program (seperti dalam pendidikan informal di
keluarga). Belajar diperlihatkan melalui perubahan tingkah laku sebagai hasil
pengalaman, yang diperoleh pembelajar melalui interaksi dengan lingkungannya
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perubahan tingkah laku dalam belajar memiliki enam
karakteristik, yakni (1) terjadi secara sadar, (2) bersifat kontinu dan
fungsional, (3) bersifat positif dan aktif, (4) besifat permanen, bukan
sementara, (5) bertujuan atau terarah, dan (6) mencakup seluruh aspek tingkah
laku. (Surya & Amin, 1984:13-15). Dengan demikian, belajar merupakan proses
psik-fisiologis yang mengubah tingkah laku individu, yang berupa kemampuan
aktual dan potensial, yang berlaku dalam waktu yang relatif lama, dan diperoleh
dengan usaha sadar (Sudjana & Rivai, 2003:36; Brown, 1994:7)
TAHAPAN PROGRAM PELATIHAN
Secara
konseptual dapat dirumuskan bahwa dalam program pelatihan setidaknya meliputi
tiga tahapan yaitu analisis kebutuhan pelatihan (training needs analysis),
implementasi program pelatihan, dan evaluasi pelatihan.
Analisis
kebutuhan pelatihan (training needs analysis) Pada tahap pertama organisasi
melakukan fase penilaian yang ditandai dengan suatu kegiatan utama yaitu
analisis kebutuhan pelatihan (training needs analysis / TNA). TNA merupakan
sebuah analisis kebutuhan workplace yang secara spesifik dimaksudkan untuk
menentukan apa sebetulnya kebutuhan pelatihan yang menjadi prioritas. Informasi
kebutuhan tersebut akan dapat membantu perusahaan dalam meggunakan sumberdaya
(waktu, dana, dan lain-lain) secara efektif sekaligus menghindari kegiatan
pelatihan yang tidak perlu.
Masalah
yang membutuhkan pelatihan selalu berkaitan dengan lack of skills or knowledge
sehingga kerja standar tidak dapat dicapai. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa TNA merupakan sebuah proses yang membandingkan kinerja actual dengan
kinerja standar. Oleh karena itu fungsi TNA adalah untuk : 1. Mengumpulkan
informasi tentang skills, knowledge, dan feelings pekerja ; 2. Mengumpulkan
informasi tentang job content dan job context ; 3. Mengidentifikasikan kinerja
standard an kinerja actual dalam rincian yang operasional ; 4. Melibatkan
stakeholders dan membentuk dukungan ; 5. Memberi data untuk keperluan
perencanaan. Hasil dari TNA adalah identifikasi performance gap. Kesenjangan
kinerja tersebut dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara kinerja yang
diharapkan dan kinerja actual individu. Kesenjangan kinerja dapat ditemukan
dengan mengidentifikasi dan mendokumentasikan standar atau persyaratan
kompetensi yang harus dipenuhi dalam melaksanakan pekerjaan dan mencocokannya
dengan kinerja actual individu di tempat kerja.
Implementasi
program pelatihan. Keberhasilan implementasi program pelatihan dan pengembangan
program SDM tergantung pada pemilihan (selecting) program untuk memproleh the
right people under the right conditions. TNA dapat membantu mengidentifikasi
the right people dan the right program sedangkan beberapapertimbangan program
(training and development consideration) dapat membantu dalam menciptakan the
right conditions.
.
Evaluasi Program pelatihan Program pelatihan harus mampu menghasilkan produk
tertentu. Produk tersebut merujuk pada kebutuhan untuk mengubah keadaan setelah
program diadakan. Oleh karena itu peran evaluasi program pelatihan sangatlah
vital untuk memastikanbahwa semua sumber daya yang akan digunakan mampu
memberikan kontribusi positif bagi perusahaan. Evaluasi program dimaksudkan
sebgai pemenuhan keberadaan arti atau nilai signifikan sebuah program pelatihan
dan hubungannya dengan tujuan dan sasaran yang harus dikembangkan. Evaluasi
tidak sekedar difokuskan pada assessing the learners, meskipun hasil penilian
individual tersebut juga merupakan pertimbangan utama dalam perencanaan.
Evaluasi pelatihan merupakan analisis atas arti atau nilai pelatihan melalui
proses pengumpulan informasi secara sistematis tentang program pelatihan itu sendiri,
partisipan, pelatihan, rancangan, metode, sumber daya dan material yang
digunakan, serta outcomes pelatihan. Evaluasi dapat dilakukan serentak
melibatkan semua komponen atau dapat pula secara parsial.
STRATEGI PELATIHAN
Strategi
Pelatihan Salah satu faktor yang ikut menentukan efektivitas pelaksanaan
program pelatihan adalah ketepatan penggunaan strategi atau teknik pelaksanaan
pelatihan. Akan tetapi, pemilihan strategi bukan pekerjaan yang mudah karena
tidak ada strategi yang tepat untuk berbagai situasi. Penggunaan strategi
pelatihan bergantung waktu, tempat, bahan, dan peserta pelatihan. Zaltman
(1977) menyebutkan empat strategi pelatihan, yakni strategi fasilitatif,
reedukatif, persuasif (bujukan), dan strategi paksaan.
Dalam
pelaksanaan pelatihan perlu diperhatikan hubungan antara pelatih dan peserta
latihan. Hubungan di antara keduanya dapat berupa hubungan interaktif,
proaktif, dan reaktif. Hubungan interaktif menunjukkan kerjasama yang harmonis
antara pelatih dan peserta, hubungan proaktif menunjukkan pelatih lebih
berinisiatif, dan hubungan reaktif menunjukkan peserta lebih responsif.
Keberhasilan pelatihan ditentukan oleh berbagai komponen, antara lain, pelatih,
peserta latihan, bahan, strategi, media, dan kondisi pelatihan. Pelatih termasuk
penentu utama keberhasilan pelatihan.
Oleh karena
itu, pelatih harus berwatak (a) jujur dan amanah, (b) komitmen dalam ucapan dan
tindakan, (c) adil dan egaliter, (d) santun dan rendah hati, (e) meciptakan
nuasa keakraban, (f) sabar, (g) tidak egois, (h) bijaksana dalam menuturkan
keburukan, dan (i) mengucapkan salam sebelum dan sesudah pelatihan. Di dalam
pelaksanaan pelatihan dapat dimanfaatkan beberapa strategi, antara lain: (1)
mengkondisikan kesiapan peserta didik, (2) memanfaatkan media audio visual, (3)
praktik, (4) menyajikan bahan secara proporsional, (5) dialog dan
rasionalisasi, (6) bercerita, (7) perumpaaan, sketsa, dan gambar, (8)
antusiasme, (9) gerak tubuh (kinesik), (10) argumentasi, (110 memnacing
kreativitas, (12) pengulangan, (13) pemetaan, (14) mendorong kreativitas, (15)
memberi jawaban lebih, (16) menjelaskan ulang jawaban peserta didik, dan (17)
sportif dalam menjawab.
KESIMPULAN
Dengan
melaksanakan pelatihan karyawan bisa menemukan pengetahuan baru, meningkatkan
keterampilan serta dapat meningkatkan motivasi karyawan dalam melaksanakan
tugasnya. Sehingga manajemen pelatihan sangat di perlukan oleh suatu lembaga
atau pun oleh suatu perusahaan. Dengan demikian adanya manejemen pelatihan maka
kinerja karyawan dapat lebih meningakat. Oleh karena itu manajemen pelatihan bisa
menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan motivasi kinerja karyawannya.
DAFTAR PUSTAKA
Aruan, D. A., 2013. PENGARUH PELATIHAN KERJA DAN
MOTIVASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN. Jurnal Ilmu Manajemen, Volume
Volume 1 Nomor 2.
Drs. Yayat Sudaryat,
M., n.d. MANAJEMEN PELATIHAN.
Irawati, R., 2018.
PENGARUH PELATIHAN DAN PEMBINAAN TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA KECIL. Jurnal
JIBEKA, Volume Volume 12 No 1, pp. 74-81.
Irianto, J., 2007. PRINSIP
PRINSIP DASAR MANAJEMEN PELATIHAN. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Safitri, E., 2013.
PENGARUH PELATIHAN DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN. Jurnal
Ilmiah Manajemen , Volume Volume 1 Nomor 4 Juli 2013, p. 1.
Comments
Post a Comment