Analisis Kecerdasan Emosi Anak Dalam Pembelajaran DI Kelas 4 Sekolah Dasar

Analsis Kecerdasan Emosi Anak  Dalam Pembelajaran Di Kelas 4 Sekolah Dasar 


Rizqi Abdul Majid


Universitas Pendidikan Indonesia

rizqisalam7@gmail.com 




Abstrak Emosi dideskripsikan sebagai luapan perasaan yang timbul dari suatu fenomena yang di alami individu, begitu pun dalam pembelajaran, sejatinya kecerdasan emosi sangat penting dalam pembelajaran, siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tinggi/baik maka siswa tersebut dapat mengendalikan emosinya dalam pembelajaran, sejalan dengan itu guru  seharunya dapat mengetahui emosi yang timbul dari siswanya ketika kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung, sehingga guru dapat mengantisipasi apa yang akan di lakukan ketika emosi siswa sedang tidak setabil, sejalan dengan itu, artikel ini menganalisi kecerdasan emosi anak dengan membuat instrument soal yang menguji kecerdasan emosi anak dalam kebahasaan serta di analisis menggunakan aplikasi rasch model, dengan aplikasi tersebut dapat diketahui pola respon siswa secara keseluruhan, kualitas instrument yang digunakan, maupun interaksi antara person dan butir soal. 


Kata Kunci : Emosi, Kecerdasan Emois, Pembelajaran


  1. Pendahuluan


Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis, yang dilakukan orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi peserta didik agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan [1]. Dengan demikian sejatinya pendidikan menjadi pondasi utama yang menunjang pembentukan pola piker dan sikap peserta didik. Sehingga mampu menjadi manusia yang seutuhnya. Sejalan denga itu dalam pembelajaran sejatinya akan lebih baik jika diiringi dengan emosi yang stabil ketika pembelajaran berlangsung. Sebuah kerangka acuan belajat meliputi kognitif, konatif, dan komponen emosional, dan terdiri dari dua dimensi: kebiasaan pikiran dan sudut pandang[2].  Dalam jangka waktu tertentu peserta didik akan merasa kegiatan pengajaran di sekolah membosankan dan sangat tidak pariatif [3]. Fakta-fakta dilapangan sering menunjukan bahwa guru hanya memberikan materi pembelajaran tanpa memperdulikan karakteristik dan suasana pembelajaran bagi peserta didiknya [4] Sanjaya (2008 21-30) [5]Sekolah mestinya menjadi agen perubahan. Roh ini sepertinya sudah luntur. Bahkan, sudah merasuk ke paradigma masyarakat. Sekolah yang semestinya berwajah humanis dan progresif ternyata telah tampil dengan wajah yang cenderung kaku, kapitalis, elitis, dan melahirkan produk manusia yang bersikap serba instan. Dalam kenyataannya, sekolah sampai tinggi hanya dapat dinikmati oleh kelompok tertentu dalam masyarakat. Secara khusus, Illich (2005)[6] 

Kecerdasan emosi mengacu pada konstelasi persepsi diri emosional yang terletak di tingkat hierarki kepribadian yang lebih. [7]. Dengan demikian Kecerdasan emosioanal adalah kemampuan untuk merasakan dan mengekspresikan emosi, mengasimilasi emosi dalam pemikiran, memahami emosi dengan alasan, dan mengatur emosi dalam diri terhadap orang lain. [8]. Sehinga  Asli Definisi dari kecerdasan emosional dikonseptualisasikan sebagai seperangkat kemampuan yang saling terkait (Mayer & Salovey, 1997; Salovey & Mayer, 1990). peneliti telah dijelaskan bahwa kecerdasan emosi sebagai campuran eklektik, banyak disposisional, seperti kebahagiaan, harga diri, optimisme, dan manajemen diri, bukan sebagai kemampuan berbasis [9]. kecerdasan yang terbaik diukur sebagai kemampuan berposes dalam menyelesaikan masalah bagi orang-orang dan memeriksa pola yang dihasilkan dari jawaban yang benar. [10]. Teori-teori itu menunjukkan bahwa mengamati dan berpikir tentang emosi melibatkan persepsi, somatovisceral, dan motorik reexperiencing (secara kolektif disebut sebagai “ perwujudan “) dari emosi yang relevan dalam satu diri. [11]. 

Dalam kecerdasan emosi juga terdapat aspek-aspek yang dapat mempengaruhi pembelajaran dengan mengetahui kecerdasan emosi. Aspek-aspek tersebut sebagai berikut: 

  1. kesadaran emosional dan arti-penting emosional memainkan peran kausal dalam pengembangan pemikiran dan keyakinan. [12]

  2.  Kontrol kognitif dengan emosional dimulai dengan konflik Konvergensi bukti menunjukkan bahwa kognitif konflik menghasut upaya pengendalian.[13] 

  3. Kompetensi emosional mengacu pada perbedaan individu dalam pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk secara efektif menangani sendiri dan emosi orang lain ( Brasseur, Gregoire, Bourdu, & Mikolajczak, 2013 ; Mayer, Salovey). [14]

  4. Emosi pemahaman melibatkan memahami perbedaan antara emosi, penyebab dan konsekuensi bagi diri dan orang lain, dan link emosi-hasil dalam konteks ( Mayer & Salovey, 1997 ). [15]

    Pembelajaran tidak selamanya akan mudah dilaksanakan karena terdapat berbagai emosi yang di tunjukan oleh siswa, sehingga seorang pendidik harus memutar otak untuk mengendalikan situasi kelas yang kondusif, Hapsin, dkk (2016) [16] mengatakan aspek yang dapat memicu konflik beragama sangat banyak, yakni meliputi adanya prasangka (prejudice), seperti adanya kecurigaan masing-masing akan kejujuran pihak lain atau pun peserata didik lain dalam pembelajaran. Dalam penelitian dua tujuan yang dikejar secara bersamaan, satu fokus pada pemahaman ilmiah dan yang lainnya berfokus pada penyediaan informasi yang berguna yang dapat membantu memecahkan masalah praktis. Stokes 1997 dalam [17] Adanya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosi siswa dan tingkat kualitas instrument soal yang diberikan kepada siwa, Orientasi tujuan ini telah dikontraskan sebagai tugas yang terlibat dengan ego dalam emosi. [18], sehingga tujuannya berfokus pada tinglat emosional siswa dalam pembelajaran. Dengan demikian pendidik dapat mengetahui tingkat kecerdasan emosi siswa dan dapat mengetahui tingkat kualitas yang di berikan kepada siswa tersebut.manfaat lain yang di dapat Caillois (1961) telah memberikan kemungkinan untuk melakukan analisis komprehensif dari pihak yang terlibat, menggambarkan keterangan mempertahananketerampilan secara sukarela dan menyenangkan. [19] dengan demikian peserta didik akan belajar secara sukarela dengan perasaan yang menyenangkan. Dalam penjelasan di atas, tampaknya urgensi kecerdasan untuk kesuksesan individu, dengan asumsi ini, para peneliti mulai mengembangkan berbagai tes untuk mengungkap kecerdasan, salah satunya adalah John C. Raven (1963)[20]


2. Metode penelitian 


Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif (Mendeskrisikan), yaitu metode yang digunakan untuk mencari unsur-unsur, ciri-ciri, sifat-sifat suatu fenomena. Metode ini dimulai dengan mengumpulkan data, menganalisis data dan menginterpretasikannya. [22]. Dengan metode desktiptif juga perlua adanya obsevasi ke lapangan dan adanya dokumentasi sebagai bukti telah melakukan observasi Observasi Pengumpulan data.

    Observasi dilakukan dengan lembar observasi atau lembar kuesioner untuk mengetahui persoalan yang di dapat dari suatu lingkungan sekitar dalam hal ini lingkungan yang di dapat adalah sekolah dasar kelas IV dan lembar instrumen yang di berikan terdiri dari 16 soal dengan terdiri dari 4 pilihan jawaban yaitu; sangat setuju, setuju, cukup setuju dan tidak setuju, setelah data di dapat, maka data langsung di masukan ke dalam aplikasi Winstap Rasch untuk mengetahui berbagai hal salah satunya tingkat kesesuaian soal dengan jawaban yang diberikan siswa. Hasil tes diikuti oleh siswa mencerminkan sejauh mana siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran di setiap mata pelajaran di lembaga pendidikan, sehingga peningkatan prestasi siswa menggambarkan kualitas pendidikan yang semakin baik.[23] Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data berupa rekaman kejadian  atau hasil gambar yang menunjang dalam penelitian di lingkungan sekitar yang menggambarkan kegiatan berlangsung. Alat yang digunakan berupa catatan lapangan, perekam gambar dan video [24]

    Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Dalam hal ini Nasution (1998) [25] menyatakan “ Analisis telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. Analisis data menjadi pegangan bagi penelitian selanjutnya sampai jika mungkin, teori yang grounded”. 


  1. Hasil dan Pembahasan 


Penelitian ini memanfaatkan aplikasi Winstap untuk menganalisis instrument soal yang diberikan kepada siswa kelas IV SD berikut merupakan hasil analisis menggunakan Winstap,

    1. Unidimensionalitas

Analisis unidimensionalitas mengidentifikasi berapa atribut atau dimensi yang diukur oleh instrumen. Analisis ini menggunakan Output Table 23 dengan memperhatikan nilai Raw variance explained by measures dan Unexplained variance in 1st to 5st contrast. Unidimensionalitas pengukuran dapat dibuktikan apabila Raw variance explained by measures≥ 20% (Catatan: kriteria umum penafsirannya adalah: cukup jika 20-40%, bagus jika 40-60%, dan bagus sekali  jika di atas 60%) dan apabila Unexplained variance in 1st to 5st contrast of residualsmasing-masing < 15%. 

Hasil analisis data menunjukkan Raw variance explained by measures sebesar 36.2% termasuk kategori cukup. Sedangkan Unexplained variance in 1st to 5st contrast of residuals masing-masing adalah 12%; 8,5%; 7,8%; 6,8%; dan 6,3%. Tampak bahwa masing-masing kurang dari 15%. Dengan demikian konstruk instrumen yang digunakan betul-betul mengukur satu variabel yaitu kecerdasan emosial siswa.


    1. Analisis Peta Wright (Person-Item Map)

Mengacu pada Output Table yakni Table 1. Variable Map, diketahui bahwa peta kemampuan siswa sekolah dasar kelas IV menyebar dalam rentang  -2 sampai dengan 2 logit. Posisi kemampuan mereka sebagian besar berada di antara -1SD dan +1SD. Kendati demikian, ada diantara mereka yang memiliki kemampuan yang outlier, yakni ekstrim tinggi dan ekstrim rendah. Rata-rata logit kecerdasan emosial siswa kelas VI sekolah dasar yakni +0,51 (periksa output Tabel 17 Measure Order dalam lampiran) berada di atas rata-rata logit item yakni 0,00. Ini berarti bahwa rata-rata kemampuan siswa kelas VI sekolah dasar berada di atas rata-rata tingkat kesulitan standar item.

Sementara itu,  peta tingkat kesukaran item  menyebar dalam rentang -3 sampai dengan 1 logit. Posisi tingkat kesukaran sebanyak 15 item berada di antara -1SD dan +1SD, sedangkan item nomor I7 berada di bawah -1SD. Dengan demikian item nomor I7 tersebut memiliki tingkat kesulitan item yang termasuk outlier. Rata-rata tingkat kesulitan standar item berada di bawah tingkat kemampuan siswa kelas VI sekolah dasar. Dengan demikian item-item instrument kecerdasan emosial ini mudah disetujui oleh para siswa kelas VI sekolah dasar.


    1. Analisis Butir

Analisis butir ini meliputi tingkat kesukaran (item measure), tingkat kesesuaian butir item (item fit), dan deteksi butir item bias.

  1. Tingkat Kesukaran Butir Item

Untuk mengetahui tingkat kesulitan item dapat ditelaah dari Tabel 13: Item Measure. Dari tabel tersebut diketahui nilai SD sebesar 0,79. Nilai SD ini jika dikombinasikan dengan nilai rata-rata logit maka tingkat kesukaran item dapat dikelompokkan ke dalam kategori sangat sukar (lebih besar  +1 SD), kategori sukar (0,0 logit + 1 SD), kategori mudah (0,0 logit – 1 SD), dan kategori sangat mudah (kurang dari -1 SD). Dengan demikian, batas nilai untuk kategori sangat sukar adalah lebih dari 0,79, kategori sukar 0,00 sampai dengan 0,79, kategori mudah -0,79 sampai dengan kurang dari 0,00, dan kategori sangat mudah adalah kurang dari -0,79.

Dengan melihat nilai logit setiap butir item  dalam Table 13 kolom Measure, secara berurutan berdasarkan tingkat kesukarannya (dari butir item yang paling sukar sampai yang paling mudah) diketahui item yang termasuk kategori sangat sukar ada 3 item, yaitu I8, I15, I16. Kategori sukar ada 6 item, yaitu I3, I6, I2, I1, I14, I4, . Kategori mudah ada 3 item, yaitu I13, I9, I12. Sedangkan kategori sangat mudah ada 4 item, yaitu nomor  I10, I11, I5, I7.

  1. Tingkat Kesesuaian Butir Item

Untuk melihat kesesuaian butir dengan model (item fit) yang menjelaskan apakah butir item berfungsi normal melakukan pengukuran sehingga tidak terjadi miskonsepsi pada diri siswa kelas IV sekolah dasar terhadap butir item tersebut dapat ditelaah berdasarkan data pada Tabel 10: Item Fit Order yaitu kolom OUTFIT mean square (MNSQ), OUTFIT Z-standard (ZSTD), dan point measure correlation (PT MEASURE CORR). Kriteria untuk memeriksa kesesuaian item (item fit) atau ketidaksesuaian item (outlier atau misfit) menurut Booner et al. (2014) adalah sebagai berikut: (1) Nilai OUTFIT MNSQ lebih besar dari 0,5 dan lebih kecil dari 1,5 dan makin mendekati 1 makin bagus; (2) Nilai OUTFIT ZSTD lebih besar dari -2,0 dan lebih kecil dari +2,0 makin mendekati 0 makin bagus; dan (3) nilai PT MEASURE CORR lebih dari 0,4 dan kurang dari 0,85. Suatu butir item dapat dipandang fit jika memenuhi minimal 1 dari 3 kriteria tersebut.

Berdasarkan kriteria ke-1 diketahui ada 4 item yang misfit, yaitu nomor 01, 16, 02 dan 12. Menurut standar ke-2 ada 5 item yang misfit, yaitu nomor 01, 16, 14, 02, dan 12. Sedangkan berdasarkan kriteria ke-3 diketahui bahwa sebanyak 1 butir item memiliki nilai PT MEASURE CORR lebih dari 0,4 dan kurang dari 0,85. yaitu nomor 12 yang memiliki nilai  PT MEASURE CORR 0,32 atau kurang dari 0,4 sehingga dinyatakan outfit. Mengacu pada pandangan Booner et al. (2014) bahwa dari analisis butir item nomor 12 dinyatakan misfit. Dengan demikian, sebanyak 16 butir item identitas profesional siswa dinyatakan fit dalam arti berfungsi normal dan dapat dipahami secara tepat oleh siswa kelas IV dan dapat mengukur apa yang harus diukur dalam hal ini adalah identitas profesional.

  1. Rating Scale Diagnostic

Diagnosis ini dilakukan untuk mengetahui apakah partisipan paham akan perbedaan pilihan jawaban dalam skala 1, 2, 3, dan 4. Perbedaan jawaban dipahami oleh responden jika nilai observed average dan andrich threshold dalam tabel 3.2 menunjukkan kesesuaian dan sama-sama meningkat pada alternatif jawaban 2, 3, dan 4 sedangkan alternatif jawaban 1 membingungkan responden. Hasil analisis menunjukkan kurang terjadi kesesuaian peningkatan nilai pada kedua hal tersebut seiring dengan peningkatan rating scale. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa perbedaan pilihan  jawaban 2, 3, dan 4 itu dapat dipahami oleh partisipan, sedangkan pilihan jawaban 1 kurang dapat dipahami. Oleh karena itu alternatif jawaban disarankan tidak empat melainkan cukup tiga saja.

  1. Deteksi Item Bias

Salah satu ukuran lain dari validitas adalah instrumen dan butir soal yang digunakan tidak mengandung bias, dalam arti lebih menguntungkan salah satu individu yang memiliki karakteristik tertentu dibandingkan dengan individu dengan karakteristik lain. Suatu butir pernyataan dikatakan mengandung bias jika nilai probabilitas butir soal sebagaimana tertera dalam Output Table 30, berada di bawah 0,05. Dalam  konteks penelitian ini, bias hanya dilihat dilihat dari genders.

Hasil analisis bias berdasarkan genders diketahui tidak ada item yang bias. Gambaran secara keseluruhan tentang posisi logit untuk setiap item berdasarkan gender dapat disimak dalam gambar berikut:



Dari gambar tersebut tampak bahwa soal nomor 1 dan soal nomor 6 lebih menguntungkan sebelah gander, yaitu soal nomor 1 lebih menguntungkan gender peremuan dan merugikan gender laki-laki, sedangkan soal nomor 6 lebih menguntungkan gender laki-laki dan merugikan gender perempuan. Sehingga soal nomor 1 dan nomor 6 harus di perbaiki.


  1. Analisis abilitas

Analisis ini dilakukan terhadap dua hal, yaitu tingkat abilitas individu (person measure) dan tingkat kesesuaian individu (person measure).

  1. Analisis Abilitas Individu   

Data abilitas dapat diketahui dari Table 17: Person Measure. Dari tabel tersebut diketahui nilai SD sebesar 0,47. Nilai SD ini jika dikombinasikan dengan nilai rata-rata logit (mean) sebesar 0,14 maka abilitas individu dapat dikelompokkan kedalam kategori, abilitas tinggi (lebih besar dari 0,47+0,14 = 0,61), kategori abilitas sedang (antara 0.47 – 0,14 dan 0,47+0,14 atau 0,61 dan 0,23), dan kategori abilitas rendah (kurang dari 0,47 – 0,14 = 0,23). Dengan demikian, batas nilai logit untuk kategori abilitas tinggi  adalah lebih dari 0,61, kategori abilitas sedang mulai 0,23 sampai dengan 1,61, dan kategori abilitas rendah adalah kurang dari 0,23.

Dengan melihat nilai logit setiap individu siswa kelas IV  dalam Table 17.1 kolom Measure, secara berurutan berdasarkan tingkat abilitasnya (dari sisiwa yang paling tinggi sampai yang paling rendah abilitasnya) dari partisipan  30 orang, diketahui ada 4 orang yang termasuk kategori abilitas tinggi, kategori abilitas sedang ada 7 orang, dan 19 orang kategori abilitas rendah.

  1. Tingkat Kesesuaian Individu

Untuk melihat kesesuaian respon individu berdasarkan abilitasnya dengan model ideal (person fit) dapat ditelaah berdasarkan data pada Tabel 6: Person Fit Order yaitu kolom OUTFIT mean squire (MNSQ), OUTFIT Z-standard (ZSTD), dan  point measure correlation (PT MEASURE CORR). Kriteria untuk memeriksa kesesuaian person (person fit) atau ketidaksesuaian person (outlier atau misfit) menurut Booner et al. (2014) adalah sebagai berikut: (1) Nilai OUTFIT MNSQ lebih besar dari 0,5 namun lebih kecil dari 1,5 dan makin mendekati 1 makin bagus; (2) Nilai OUTFIT ZSTD lebih besar dari -2,0 dan lebih kecil dari +2,0 makin mendekati 0 makin bagus; dan (3) nilai PT MEASURE CORR lebih dari 0,4 dan kurang dari 0,85. Seorang partisipan dapat dipandang fit jika memenuhi minimal 1 dari 3 kriteria tersebut.

Berdasarkan kriteria tersebut diketahui bahwa sebanyak 29 siswa dinyatakan fit dalam arti memberikan jawaban sesuai dengan tingkat abilitasnya. Sedangkan 1 siswa memberikan







jawaban kurang sesuai dengan tingkat abilitasnya, yaitu siswa dengan nomor 10, 12, dan 30


    1. Analisis Instrumen

Untuk analisis instrumen digunakan informasi yang disajikan pada Table 3.1: Summary Statistic. Berdasarkan tabel tersebut  diketahui informasi sebagai berikut


Mean

SD

Separation

Reliability

Cronbach Alpha

Person

0,14

0,47

0,92

0,46

0,51

Item

0,00

0,79

3,02

0,90


Person measure 0,14 logit menunjukkan rata-rata skor seluruh partisipan dalam mengerjakan butir-butir item instrumen pengungkap data kecerdasan emosional siswa.  Nilai rata-rata person yang lebih besar dari rata-rata item (dimana rata-rata item adalah 0,00 logit) menunjukkan bahwa kemampuan partisipan pada umumnya lebih besar dibandingkan dengan kesulitan butir item instrumen.

Nilai Cronbach Alpha,  yang merepresentasikan interaksi antara person dengan butir-butir item secara keseluruhan, sebesar 0,51 termasuk kategori jelek. Selanjutnya nilai Person Reliability sebesar 0,46 sebagai indikator konsistensi jawaban responden, termasuk kategori lemah. Sedangkan Item Reliability sebesar 0,90 sebagai indikator kualitas butir-butir item dalam instrumen, tergolong kategori bagus.

Data lain pada Tabel 3.1 yang dapat digunakan adalah INFIT MNSQ dan OUTFIT MNSQ baik pada tabel Person maupun Tabel Item. Berdasarkan Tabel Person diketahui nilai rata-rata INFIT MNSQ dan OUTFIT MNSQ masing-masing adalah 0,99 dan 0,99. Sementara itu berdasarkan tabel Item diketahui nilai rata-rata INFIT MNSQ dan OUTFIT MNSQ masing-masing adalah 0,98 dan 0,98. Kriterianya, makin mendekati angka 1 makin bagus, karena nilai idealnya adalah 1. Dengan demikian, rata-rata person maupun item mendekati kriteria ideal. 

Sementara itu terkait dengan INFIT ZSTD dan OUTFIT ZSTD, nilai rata-rata untuk person masing-masing adalah -0,13 dan -0,13. Sedangkan nilai INFIT ZSTD dan OUTFIT ZSTD untuk item masing-masing adalah -0,18 dan -0,16. Nilai ideal ZSTD  adalah 0, semakin mendekati 0 maka semakin baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kualitas person dan item adalah baik.

Terakhir adalah berkenaan dengan separasi atau pengelompokkan person dan item. Separasi individu menunjukkan seberapa baik seperangkat butir di dalam instrumen kecerdasan emosional siswa kelas VI sekolah dasar menyebar sepanjang rentang kemampuan logit. Semakin besar sparasi individu, semakin baik instrumen yang disusun karena butir-butir soal di dalamnya mampu menjangkau individu dengan kemampuan tingkat tinggi hingga ke tingkat rendah. Sedangkan separasi item menunjukkan seberapa besar sampel yang dikenakan pengukuran tersebar sepanjang skala interval linier. Semakin tinggi separasi butir, semakin baik pengukuran yang dilakukan. Indeks ini juga berguna untuk mendefinisikan kebermaknaan konstruk yang diukur.

Dari output Tabel 3.1 diketahui separasi untuk person adalah 0,92 dan untuk item adalah 3,02. Makin besar nilai separasi maka kualitas person dan instrumen secara keseluruhan semakin bagus. Nilai separasi dihitung dengan lebih teliti melalui rumus: H={(4 x sparation) + 1}/3. Dengan demikian nilai separasi untuk person adalah 1,56 dibulatkan menjadi 2, sedangkan separasi untuk item adalah 4,3  dibulatkan menjadi 4. Hal ini mengandung arti bahwa partisipan penelitian memiliki keragaman kemampuan yang dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Sementara itu, tingkat kesulitan butir item menyebar dalam enam kelompok mulai dari kelompok paling mudah sampai dengan paling sulit.

Terkait dengan informasi hasil pengukuran/fokus pengukuran, diperoleh gambaran sebagaimana tampak dalam gambar berikut:






Gambar tersebut mengindikasikan bahwa butir-butir soal kecerdasan emosional siswa lebih cenderung menghasilkan informasi yang tinggi pada individu dengan abilitas tingkat sedang menuju tingkat rendah.


  1. Simpulan

Butir-butir item memadai digunakan dalam instrumen pengungkap data kecerdasan emosional siswa  kelas IV sekolah dasar. Skala pilihan jawaban yang disarankan adalah 3 skala yaitu 2, 3, dan 4,  karena pilihan jawaban yang semula dalam skala 4 ternyata pilihan jawaban 1 tidak dipahami dan membingungkan responden.

Selanjutnya nilai cronbach alpha,  yang merepresentasikan interaksi antara person dengan butir-butir item secara keseluruhan, termasuk kategori jelek. Selanjutnya, nilai Person Reliability sebagai indikator konsistensi jawaban responden, termasuk kategori lemah. Sedangkan Item Reliability sebagai indikator kualitas butir-butir item dalam instrumen, tergolong kategori bagus. Butir-butir soal identitas profesional mahasiswa calon guru lebih cenderung menghasilkan informasi yang tinggi pada individu dengan abilitas sedang menuju rendah.

Sebanyak 4 orang  yang termasuk kategori abilitas tinggi, dan kategori abilitas sedang ada 7 orang, sisanya sebanyak 19 orang berasa pada kategori abilitas rendah, dalam arti kemungkinan sebanyak 12 orang responden menebak jawaban atau kurang sungguh-sungguh dalam memberikan jawaban.

Rata-rata tingkat kesulitan standar item berada di bawah tingkat kemampuan siswa kelas IV sekolah dasar. Dengan demikian item-item instrumen kecerdasan emosional ini mudah disetujui oleh para siswa kelas VI sekolah dasar.


Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada Bapak Dodi Suryana, M.Pd. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran di Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Tasikmalaya, juga kepada Siswa-Siswi IV Sekolah Dasar SDN Tugu 1 Kota Taskmalaya


Reference 

[1]    A. Muhson, “Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi,” J. Pendidik. Akunt. Indones., vol. 8, no. 2, 2010.

[2]    J. Mezirow, “Transformative Learning : Theory to Practice,” no. 74, pp. 5–12, 1997.

[3]    D. I. Cordova and M. R. Lepper, “<Cordova_Lepper_1996_control_learning.pdf>,” vol. 88, no. 4, pp. 715–730, 1996.

[4]    Hidayatul Mufidah, “Sistem Pembelajaran Matematika Di Sekolah Alam,” Ummul Quro, vol. 6, no. Jurnal Ummul Qura Vol VI, No 2, September 2015, pp. 36–47, 2015.

[5]Silvia. Model Pendidikan Karakter     Yang Baik Di Sekolah Alam.     Medan.UINSUSKA. 1-32

[6]    D. I. S. Alam, F. Tarbiyah, and K. Iain, “THE ESTABLISHMENT AND TRANSFORMATION OF CORE VALUES,” vol. 13, no. 1, pp. 17–27, 2017.

[7]    N. Frederickson, K. V. Petrides, and E. Simmonds, “Trait emotional intelligence as a predictor of socioemotional outcomes in early adolescence,” Pers. Individ. Dif., vol. 52, no. 3, pp. 323–328, 2012.

[8]    C. Cherniss, C. Roche, and B. Barbarasch, “Emotional Intelligence,” Encycl. Ment. Heal. Second Ed., vol. 2, pp. 108–115, 2015.

[9]    J. D. Mayer, P. Salovey, and D. R. Caruso, “Emotional Intelligence: New Ability or Eclectic Traits?,” Am. Psychol., vol. 63, no. 6, pp. 503–517, 2008.

[10]    J. D. Mayer, D. R. Caruso, and P. Salovey, “The Ability Model of Emotional Intelligence: Principles and Updates,” Emot. Rev., vol. 8, no. 4, pp. 290–300, 2016.

[11]    P. M. Niedenthal, “Embodying emotion,” Science (80-. )., vol. 316, no. 5827, pp. 1002–1005, 2007.

[12]    H. Berenbaum, M. T. Boden, and J. P. Baker, “Emotional Salience, Emotional Awareness, Peculiar Beliefs, and Magical Thinking,” Emotion, vol. 9, no. 2, pp. 197–205, 2009.

[13]    M. M. Bradley, M. Codispoti, B. N. Cuthbert, and P. J. Lang, “Emotion and Motivation I: Defensive and Appetitive Reactions in Picture Processing,” Emotion, vol. 1, no. 3, pp. 276–298, 2001.

[14]    F. Doerwald, S. Scheibe, H. Zacher, and N. W. Van Yperen, “Emotional competencies across adulthood: State of knowledge and implications for the work context,” Work. Aging Retire., vol. 2, no. 2, pp. 159–216, 2016.

[15]    J. Warwick and T. Nettelbeck, “Emotional intelligence is...?,” Pers. Individ. Dif., vol. 37, no. 5, pp. 1091–1100, 2004.

[16]    M. Agustian, P. Anindyta, and M. Grace, “MELALUI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL,” vol. 1, no. 2, pp. 191–199, 2018.

[17]    P. R. Pintrich, “A conceptual framework for assessing motivation and SRL in college students,” Educ. Psychol. Rev., vol. 16, no. 4, pp. 385–407, 2004.

[18]    C. Ames and J. Archer, “Achievement Goals in the Classroom: Students’ Learning Strategies and Motivation Processes,” J. Educ. Psychol., vol. 80, no. 3, pp. 260–267, 1988.

[19]    R. Garris, R. Ahlers, and J. E. Driskell, “Games, motivation, and learning: A research and practice model,” Simul. Gaming, vol. 33, no. 4, pp. 441–467, 2002.

[20]    Nurhudaya, A. Taufik, E. S. Yudha, and D. Suryana, “The Raven’s advanced progressive matrices in education assessment with a Rasch analysis,” Univers. J. Educ. Res., vol. 7, no. 9, pp. 1996–2002, 2019.

[21]    B. A. Perkuliahan, “Metodologi penelitian,” 2010.

[22] Suryana. (2010) ‘Metodologi     penelitian’.Bandung.Universitas     Pendidikan Indonesia

[23]    A. Riswanto and S. Aryani, “Learning motivation and student achievement : description analysis and relationships both,” COUNS-EDU Int. J. Couns. Educ., vol. 2, no. 1, p. 42, 2017.

[24]   Al Qhomairi, Arifan. 2013.     Metode     Socrates     Kontekstual Ditinjau dari     Proses Belajar dan     Kemampuan     Berpikir    Kritis Matematis.     Universitas Lampung. 

[25]       Sugiyono. 2014. Metode     Penelitian     Pendidikan.     Bandung: Alfabeta.

 




Comments

Post a Comment

In Our Opinion and Learning