BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang sangat diperhatikan dalam Islam. Keberadaan pendidikan menjadi suatu keharusan bagi seluruh manusia untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini (Rasyim & Syadi’yah, 2015). Menurut Syaikh Jamal Abdurrahman dalam (Zulkarnain, 2014), pendidikan dimulai sejak anak berada dalam sulbi ayahnya. Maka dari itu, pendidikan di lingkungan keluarga mempunyai peranan yang sangat besar, karena disini terdapat masa emas anak atau biasa disebut dengan golden age, yang mana dalam hal ini anak pandai untuk meniru apa yang mereka lihat di sekitarnya, sehingga pada masa ini sangat penting untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, Islam menekankan pentingnya peran orang tua untuk terlibat aktif dalam proses pendidikan agar anak tetap berkembang sesuai dengan fitrahnya.
Menurut (Nuruzzahri, 2014), tujuan dari pendidikan Islam adalah pengabdian kepada Allah SWT. Tujuan tersebut sejalan dengan tujuan penciptaan manusia sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Quran pada Surat Az-Zariyat ayat 56, yang artinya: “Aku tidak menciptakan Jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Sejalan dengan itu, dalam Surat Hud ayat 61, yang artinya: “dan Dia (Allah) menciptakan kamu (manusia) dari bumi (tanah) dan menugaskan kamu memakmurkan”. Maksud dari ayat tersebut yaitu manusia yang dipercaya oleh Allah sebagai khalifah bertugas memakmurkan atau membangun bumi ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh yang menugaskan (Allah).
Langkah yang dapat dilakukan untuk memakmurkan atau membangun bumi ini yaitu dengan memberikan pendidikan yang tepat dan sedini mungkin kepada anak, sebab anak akan tumbuh sesuai dengan kebiasaan yang ditanamkan oleh pendidik di masa kecilnya. Adapun konsep yang dapat diterapkan yaitu melalui metode Nabi dalam mendidik anak. Menurut (Jenuri et al., 2019) dalam buku Penguatan Materi Seminar Pendidikan Agama Islam (SPAI), alasan penggunaan metode Nabi dalam mendidik anak, yaitu: 1) tidak ada seorang manusia pun yang melangsungkan pendidikan terhadap anak dan remaja dengan metode yang lebih handal dibandingkan dengan metode Nabi, 2) kita diperintahkan Allah untuk mengikuti-
Nya dalam semua aspek kehidupan kita, dan diantara yang terpenting adalah pendidikan anak, 3) jauhnya perbedaan manusia dengan metode pendidikan Nabi ketika mereka mendidik anak-anak mereka, 4) banyak kalangan dari kita terpesona (termasuk pakar pendidikan) dengan teori dan sistem pendidikan yang dirancang orang-orang barat yang ada di zaman ini, sementara mereka lalai bahwa banyak landasan sistem dan teori-teori tersebut yang terdapat di dalam sunnah Nabi kita Muhammad SAW.
1.2 Rumusan
1. Apa pengertian konsep dan pendidikan Islami ?
2. Apa tujuan dari pendidikan Islami ?
3. Bagaimana mendidik anak sejak dalam kandungan ?
4. Bagaimana metode Nabi dalam mendidik anak ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian konsep dan pendidikan Islami.
2. Untuk mengetahui cara mendidik anak sejak dalam kandungan.
3. Untuk mengetahui cara Nabi dalam mendidik anak.
1.4 Manfaat
1. Bagi mahasiswa ketika membaca makalah ini dapat menjadi sumber pembelajaran untuk meningkatkan pengetahuan mengenai Pendidikan islami yang dapat digunakan kelak ketika menjadi guru di SD maupun menjadi orang tua.
2. Bagi guru, makalah ini dapat menjadi penambahan pengetahuan mengenai bagaimana mendidik siswa dengan menggunakan metode Rasulullah SAW.
3. Bagi dosen makalah ini dapat menjadi acuan penilaian mahasiswa dalam mengerjakan tugas yang sebelumnya sudah diberikan.
1.5 Metode
Metode
dalam pembuatan makalah yaitu menggunakan metode literasi dari buku, jurnal dan
website yang relevan dan terpercaya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1 Pengertian Konsep dan Pendidikan Islami
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia konsep adalah “ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkrit” atau “gambaran mental dari objek”. Jadi, konsep adalah suatu gagasan atau ide atau gambaran mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atau simbol dan juga sebagai bagian dari pengetahuan yang dibangun dari berbagai macam karakteristik.
Dalam buku Penguatan Materi Seminar Pendidikan Agama Islam (SPAI) (Jenuari, 2019) Konsep menurut A.S Homby, A.P Cowie menyatakan bahwa konsep adalah “gagasan atau ide umum”. Pendidikan menurut Marimba (2012 : 34) menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Selain itu, Lodge (2012 : 34) menyatakan bahwa pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Jadi, pendidikan diartikan sebagai berbagai usaha yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap peserta didik untuk membantu perkembangan jasmani dan rohani, agar tercapainya suatu perkembangan secara optimal. Sedangkan konsep pendidikan menurut al-Qur’an yang dinyatakan oleh Sayid Muhammad al-Naquib al – Attas (1998 : 39) merumuskan bahwa ada tiga istilah yang terdapat dalam pendidikan menurut Islam yaitu ta’lim, tarbiyyah, dan ta’dib. Ta’dib adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan. Istilah ta’dib berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab atau mendidik. Ta’lim, tarbiyyah, dan ta’dib merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Artinya, apabila pendidikan dinisbatkan pada ta’dib maka harus melalui pengajaran (ta’lim) sehingga diperoleh ilmu. Agar ilmu tersebut dapat dipahami, dihayati dan diamalkan oleh peserta didik maka perlu bimbingan (tarbiyyah). Menurut al-Attas pula dalam struktur konseptualnya ta’dib juga mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim), dan pengasuhan yang baik (tarbiyyah).
Al-Attas mendefinisikan pendidikan menurut pandangan Islam yaitu sebagai pengenalan dan pengakuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut. Kata “Islam” dalam “Pendidikan Islami” menunjukkan warna pendidikan tertentu yaitu pendidikan yang berwarna Islam. Pendidikan yang Islami yaitu pendidikan yang berdasarkan Islam.
Ada beberapa pendapat para ahli mengenai pendidikan yang Islami, diantaranya:
a. Menurut Azzumardi Azzra, pendidikan yang Islami adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran – ajaran Islam yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Muhammad SAW.
b. Menurut Dr. Yusuf Qardawi, pendidikan yang Islami adalah pendidikan manusia seutuhnya (rohani dan jasmani) dalam menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya.
Sehingga berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan yang Islami adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam (konsep pemikiran dan pandangan hidup tertentu yang telah membentuk pola pikir dan perilaku dalam suatu masyarakat), menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan memiliki keterampilan yang memadai dan terarah.
2.1.2 Tujuan Pendidikan Islami
Tujuan pendidikan Islami berkaitan erat dengan tujuan penciptaan manusia sebagai khalifah Allah SWT. Tujuannya yaitu : (a) Membantu pembentukan akhlak, (b) Mempersiapkan kehidupan di dunia dan akhirat, (c) Menumbuhkan ruh ilmiyah, (d) Mempersiapkan peserta didik dari segi profesional, dan (e) Mempersiapkan peserta didik dalam usaha mencari rezeki.
Menurut Al – Syaibani tujuan pendidikan Islami berdasarkan tugas dan fungsi manusia secara filosofis yaitu sebagai berikut :
1. Tujuan individual yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan rohani, juga kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, dan memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islami utamanya adalah untuk membentuk pribadi seorang muslim dan muslimah untuk menjadi hamba yang taat, tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Selain itu, tujuan pendidikan Islami juga berorientasi kepada perwujudan suatu sikap yang selalu menghadirkan Allah SWT sebagai Tuhan yang selalu mengawasi setiap makhluk-Nya.
2.2 Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan
2.2.1 Mendorong Anak Sejak Masih dalam Tulang Sulbi Seorang Ayah
Rasulullah SAW, memberikan anjuran kepada umat Islam agar dalam melakukan suatu tindakan senantiasa menghasilkan kemaslahatan bagi siapapun. Begitu juga sebagai orangtua, harus melakukan sesuatu yang dapat memberikan dampak positif bagi anak-anaknya di masa yang akan datang. Untuk itu, Rasulullah SAW bersabda: “Manakala seseorang di antara kalian menggauli istrinya, terlebih dahulu mengucapkan ‘Bismillahi, Allahumma Jannibnasy Syaithaana Wa Jannibisy Syaithaana Maa Razaqtanaa’ (Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah hindarkan kami dari gangguan setan dan hindarkan pula anak yang akan Engkau anugerahkan kepada kami dari gangguan setan) kemudian dilahirkan dari keduanya seorang anak, niscaya selamanya setan tidak akan mengganggunya.” (HR. Muttafaqun’alaih).
Dalam hadits ini menjelaskan anjuran bagi setiap pasangan untuk melakukan suatu hubungan intim dengan tatanan dan tatakrama yang baik, semata-mata bukan karena menyalurkan gejolak nafsu seksualnya, melainkan juga melakukan suatu tindakan yang mengarah pada tindakan rabbani. Dalam permulaan senggama, apabila pasangan suami istri menyebut nama Allah SWT, berarti hubungan sebadan yang mereka lakukan jelas berlandaskan ketakwaan. Dengan izin Allah, anaknya nanti tidak akan diganggu setan, dan jika kelak dia besar akan jauh dari perilaku setan.
Sesungguhnya Allah SWT, telah memerintahkan kepada kita untuk memilih orang-orang shaleh, baik laki-laki maupun perempuan saat melakukan pernikahan. Hal itu sangat dianjurkan agar dapat membesarkan anak-anak mereka sesuai anjuran agama, membesarkan, dan mendidik generasi yang shaleh. Karena bibit yang tidak shaleh tidak akan memberikan keturunan yang shaleh pula. Salah satu pepatah bijak mengatakan bahwa “Seseorang yang tidak punya sesuatu maka dia juga tidak akan mampu memberikannya”. Sehubungan dengan hal ini Allah SWT, berfirman: “dan kawinkalah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur: 32).
Memilih pasangan tidak sekedar cantik dan menggairahkan, melainkan dapat menenteramkan hati dan pikiran juga, bisa mendidik anak menjadi pewaris yang shaleh dan salehah. Oleh karena itu, Rasulullah memberi anjuran dalam sabdanya:”Pilih-pilihlah untuk menitipkan nuthfah (benih) kalian, nikahilah orang-orang yang sekufu (sepadan), dan nikahkanlah di antara sesama mereka.”(HR.Baihaqi dan Ibnu Majah).
2.2.2 Mendoakan Anak Ketika Masih Berupa Nuthfah
Perhatian orang tua terhadap anak sejatinya dimulai pada tahap ini. Pada dasarnya mendidik anak ketika masih dalam kandungan berarti mendidik ibu yang sedang mengandung bayinya yang secara garis lurus akan tertuju pada bayi yang sedang dikandung. Dengan pola yang demikian secara tidak langsung telah mengajarkan kepada bayi bahwa segala sesuatu bermula dari perhatian ibu. Apa yang dirasakan oleh seorang ibu sudah pasti bermula dari keadaan bayi dalam perutnya. Dan stimulasi atau rangsangan yang dilakukan dari luar juga akan mendapatkan respon bayi di dalam kandungan.
Bayi dalam kandungan sejatinya sudah bisa merasa, mendengar, dan melihat. Selain itu juga membentuk kapasistas belajar dan menghafal. Dalam penelitian modern, seorang peneliti De Casper (2013: 41), mengemukakan pendapatnya bahwa bayi di dalam kandungan memiliki :
a. Perubahan daya mengisap (jempol) bila mendengar suara tertentu,
b. Mendapatkan kenyamanan bila ibu bicara dengan bahasa daerahnya sendiri,
c. Bila mendengar cerita yang disukainya, denyut jantung bayi menjadi stabil dan melambat. Tetapi akan meningkat bila mendengar cerita yang tidak disukainya.
Hal ini terbukti bagaimana Imam Syafi’i mampu hafal Al-Qur’an dan hadits pada usia sembilan tahun, oleh karena lingkungan rahim ibunya selalu disibukan dengan bacaan mulia.
2.2.3 Dzikir untuk Keselamatan Bayi saat akan Lahir
Ketika Fatimah Ra., putri Rasulullah mendekati masa kelahiran, beliau memerintahkan Ummu Salamah dan Zainab binti Jahsy untuk menemui Fatimah Ra. dan membacakan ayat kursi didekatnya. Setelah itu membaca surat Al-Falaq dan An-Nas atau Al-Mu’awwidzatain.
Allah berfirman “sesunguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam 6 masa, lalu dia bersemayan di atas’Arsy, Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang -bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah, Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A’araf:54)
Dari Hasan Al-Bashri Ra. bahwasannya ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Bagaimana cara saya mengucapkan ucapan selamat (kelahiran)?” Beliau menjawab “Ucapkanlah olehmu:Ja’alallahu Mubaarakan ‘Alaa Ummati Muhammad. “Semoga Allah menjadikannya anak yang diberkahi atasmu dan atas umat Muhammad SAW.” (HR. Thabrani)
Setelah anak lahir perlulah diserukan adzan. Menurut Ibnu Qayyim Ra., berpendapat bahwa adzan untuk bayi yang lahir mengandung harapan yang optimis, agar yang pertama kali didengar adalah tentang keagungan dan kebesaran Allah SWT, serta syahadat yang menjadi sarat utama bagi seseorang yang pertama kali masuk islam.
2.3 Metode Nabi dalam Mendidik Anak
Allah memerintahkan kita untuk mengikuti Rasulullah dalam segala aspek, termasuk pendidikan. Tidak ada seorang pun yang melangsungkan pendidikan terhadap anak dan remaja dengan metode yang lebih handal dibandingkan metode Rasulullah SAW., namun zaman sekarang banyak orang yang terpesona dengan teori atau metode pendidikan dari barat dan mereka lalai bahwa banyak landasan sistem dan teori-teori tersebut terdapat dalam sunah Nabi Muhammad SAW.
Terdapat beberapa rambu-rambu pendidikan anak yang telah dipraktikan secara nyata oleh Rasulullah SAW (Jenuri et al., 2019) dalam buku Penguatan Materi Seminar Pendidikan Agama Islam (SPAI), antara lain:
2.3.1 Mengedepankan Akidah
Inilah tugas pertama bagi pendidik muslim, akidah adalah tujuan Allah SWT menciptakan makhluk, sebagaimana Allah SWT berfirmat :
وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَلأِنْسَ إِلاَّ لِيَعبُدُونِ
Arti: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S Adz-Dzariyat: 66)
Dan tujuan ditulisnya para rosul Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S An-Nahl: 36 yang artinya : “Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat dalam kurung untuk menyerukan sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut Nya maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah Bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”( Q.S An-Nahl: 36)
Kewajiban utama orang tua terhadap anak-anaknya adalah tertanamnya aqidah dalam sanubarinya, sehingga tidak ada yang disembah melainkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata dan tidak menyekutukan Allah dengan yang lain. Tanamkan keyakinan dengan kuat bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang paling benar sebagai tuntunan hidup yang akan membawa keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sampaikan juga bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah nabi terakhir dan tidak ada lagi nabi setelah beliau. Oleh karena itu, tahapan dalam menguatkan akidah anak harus benar-benar diutamakan. Didik mereka dengan jiwa tauhid yang mengkristal di dalam batinnya, meresap sampai ke tulang sumsumnya, yang tidak akan sampaipun nyawa berpisah dari badannya, akidah itu tidak akan terpisah dari hatinya.
Salah satu yang sangat dikhawatirkan bisa merusak aqidah generasi muda Islam adalah adanya pemahaman sinkretisme yang menganggap semua agama itu benar, hukum Islam tidak lebih baik dari aturan hukum yang dimuat manusia, dan aturan Islam melanggar HAM, menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi. Jika aqidahnya kuat dan imannya mantap, tentu generasi muda Islam tidak akan terpengaruh dengan pemahaman-pemahaman seperti itu. Dia punya keyakinan hanya aturan Islam yang paling benar, dan akan menolak pemikiran yang sesat.
2.3.2 Memperhatikan Sholat
Shalat merupakan ibadah yang paling utama, pertama, dan Allah perintahkan secara langsung agar kita menyuruh keluarga kita untuk menunaikan shalat, sebagaimana disampaikan pada surat Thaha ayat 132, “Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, tetapi Kamilah yang membei rezeki kepadamu. Dan akibat yang baik di akherat adalah bagi orang yang bertakwa.”
Secara tegas dalam ayat tadi disebutkan untuk memerintahkan keluarga untuk menegakkan shalat. Shalat adalah tiang agama. Fungsi tiang bagi sebuah bangunan adalah menjadi komponen yang sangat penting, menegakkan bangunan tersebut agar tidak mudah roboh. Dengan pemahaman ini, jika dalam sebuah keluarga ada anggota keluarga yang tidak menegakkan sholat, maka kemungkinan besarnya penegakkan nilai-nilai agama tersebut akan rapuh. Maka untuk memastikan agar sebuah keluarga bisa menegakkan nilai-nilai dien, pastikan bahwa seuruh anggota keluarga dengan menegakkan shalat dengan baik.
Berikut beberapa kiat mengajarkan shalat kepada anak sejak dini menurut Kusnaeni (2015).
1. Sejak anak dalam kandungan selalu berkomunikasi dengan anak, mengajak untuk shalat. Meski masih dalam kandungan, janin sudah bisa mendengar, dengar cara ibu selalu mengajak bayi dalam kadungan untuk shalat setiap datang waktu shalat, maka berarti janin sedang dalam kandungan sudah mulai belajar mengenal waktu-waktu shalat yang lima waktu. Demikian juga ketika anak sudah lahir ke dunia, sejak awal selalu libatkan dalam setiap aktifitas shalat kita, minimal dengan mendengar suara ajakan shalat, kemudian membawanya untuk terbaring atau duduk disamping tempat shalat kita.
2. Ketika anak sudah mulai berdiri dan bisa berbicara, latih anak untuk berdiri shalat di samping kita, dan ajak untuk mengikuti bacaan Al-Fatihah kita, dalam shalat yang sifatnya jahr (magrib, isya, subuh) atau mulai ajarkan untuk menghafal Al-Fatihah, dengan sistim drill, sering diulang ulang. Al-Fatihah adalah bacaan minimal yang harus dibaca oleh seorang yang sedang berlatih shalat.
3. Mengajarkan gerakan dalam shalat secara bertahap.
4. Lakukan semua latihan dengan suasana enjoy dan tidak dipaksakan. Ketika anak sudah mulai menginjak usia 7 tahun, disinilah kita sudah harus memulai sedikit disiplin dalam megajar anak untuk shalat. Rasul saw menyampaikan kepada kita dalam hadisnya, “Didiklah anakmu untuk shalat pada saat usia mereka 7 tahun, dan pukullah mereka jika pada saat usia 10 tahun belum mau shalat. Kami memahami hadis ini bahwa proses latihan anak untuk shalat sudah harus dilatih sejak dini sehingga pada saat usia 7 tahun diharapkan sudah legkap pemahaman anak terhadap ibadah shalat.
5. Memberikan penghargaan saat anak kita sudah mau melaksanakan shalat sesuai arahan kita, sejalan dengan target target yang kita buat. Sampaikan pada anak bahwa hadiah dari ayah/bunda ini belum seberapa jika dibanding dengan hadiah (pengganti pahala, jika anak blum memahami kata pahala) dari Allah, jauh bisa hebat dan istimewa, yang akan Allah berikan di akherat nanti, Kalimat ini penting untuk disampaikan, untuk menanamkan pada anak bahwa kita melakukan shalat adalah karena menginginkan balasan dari Allah, dan bukan balasan dari manusia (dalam hal ini hadiah dari ayah bunda).
2.3.3 Menjaga Lebih Baik Dibanding Mengobati
Konsep pendidikan nabi terhadap anak dan remaja bertumpu pada prinsip mendahulukan penjagaan daripada pengobatan sehingga konsep tersebut meletakkan pagar pelindung dengan izin Allah antara anak dan keterjerumusan dalam bahaya. Diantara kesalahan kita yang paling transparan dalam bidang pendidikan dewasa ini adalah mengesampingkan aspek penjagaan dan tidak memperhatikannya kecuali ketika anak terlanjur terjerumus dalam bahaya lantas Setelah itu kita baru mencari jalan keluarnya dalam konteks ini kita dapat memahami sabda Nabi tentang hak anak yang menginjak usia 10 tahun yakni “……dan pisahkanlah tempat tidur mereka”.
2.3.4 Menumbukan Kepercayaan Diri
Membangun rasa percaya diri pada anak dimulai dari kesadaran kita bahwa rasa percaya diri berasal dari dalam diri anak masing-masing cara paling mendasar adalah orang tua memberi memberi harus kepercayaan pada anak supaya mereka yakin akan kemampuan diri mereka sendiri seperti yang diucapkan oleh Henry Ford jika anda percaya Anda bisa atau anda tidak bisa anda mungkin benar maksudnya ketika seorang anak percaya bahwa ia bisa melakukan sesuatu maka kemungkinan besar ia bisa melakukannya kalaupun ia gagal ia akan mencobanya berulang kali karena ia yakin ia bisa tetapi ketika seorang anak percaya bahwa ia tidak bisa kemungkinan ia akan gagal dan ia tidak terlalu ingin mencoba kembali ajarkan untuk melakukan banyak hal mandiri. Anak-anak yang percaya diri merasa nyaman dengan diri mereka sendiri dan menunjukkan sikap aku bisa sebaliknya mereka yang kurang memiliki rasa percaya diri selalu merasa aku tidak bisa atau aku tidak cukup baik.
2.3.5 Mengarahkan Kepada Perilaku Terpuji
Seorang anak membutuhkan pengarahan karena pengalaman hidupnya masih minim hati dan akal biasanya memang bisa menerima orang yang bersegera memberikan arahan dan pengajaran maka pendidikan nabi terhadap anak-anak berdasarkan pada sikap bersegera mengarahkan mereka kepada etika dan perilaku yang baik di antaranya adalah Sabda beliau kepada Hasan bin Ali saat masih anak-anak "Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu sesungguhnya Kejujuran adalah ketenangan dan kedustaan adalah keraguan.” hadits riwayat Tirmidzi dan di Shohihkan oleh Al-Albani.
2.3.6 Memberi Balasan Perilaku Baik
Disamping mengarahkan anak kepada etika dan perilaku yang baik, maka orangtua juga harus memberikan balasan serta memotivasi anak untuk melakukan perbuatan baik dan akhlak terpuji dengan pujian dan do’a (Jenuri et al., 2019). Di dalam Ash-Shohihain diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, tentang kisahnya bermalam dikediaman Rasulullah saat ia masih kecil, ia berkata: “Nabi masuk ke kamar kecil, maka aku menyediakan air wudhu untuk beliau. Beliau bersabda, “Siapa yang menyediakan ini?” Lantas, beliau pun diberitahu, maka beliau berdo’a: “Ya Allah, pahamkanlah ia dalam agama dan ajarilah ia takwil (Al-Quran) (HR Muttafaqun ‘alaih). Do’a yang agung tersebut adalah balasan bagi perbuatan baik yang telah dilakukan si anak kecil, yaitu Ibnu ‘Abbas, serta dukungan terhadap perilaku terpujinya.
2.3.7 Menjauhkan Sifat Angkuh dan Sombong
Sifat ini telah mecelakakan banyak makhluk ciptaan Allah, mulai dari peristiwa terusirnya iblis dari surga, hingga ditenggelamkannya Qarun kedalam bumi (Jenuri et al., 2019). Dengan demikian, Luqman menasihati anaknya agar menjauhi sifat angkuh dan sombong, seperti dalam firman Allah SWT:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)
Rasulullah SAW juga menjelaskan tentang bahaya sifat sombong dan angkuh (Zuhri, 2016), sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, dari Nabi, beliau bersabda, "Tidak masuk surga siapa saja yang di dalam hatinya ada sedikit kesombongan, kemudian seseorang berkata, “Sesungguhnya seseorang itu senang pakaiannya bagus dan sandalnya bagus." Beliau bersabda, "Sesunguhnya Allah itu Indah dan Dia menyenangi keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." (HR Muslim).
2.3.8 Bersikap Adil diantara Anak-anak
Sebagai orangtua, kita hendaknya bersikap adil kepada anak-anak kita, apalagi mereka yang mempunyai anak lebih dari satu anak. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari adanya kecemburuan dan juga menghilangkan adanya kebencian bagi saudara yang lainnya (Wulandari, 2019). Dalam suatu hadist dijelaskan: Dari Nu’man bin Basyir, beliau pernah datang kepada Rasulullah lalu berkata, “Sungguh, aku telah memberikan sesuatu kepada anak laki-lakiku yang dari Amrah binti Rawwahah, lalu Amrah menyuruhku untuk menghadap kepadamu agar engkau menyaksikannya, ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah bertanya, “apakah engkau juga memberikan hal yang sama kepada anak-anakmu yang lain?” Ia menjawab, “Tidak.” Rasulullah bersabda, bertakwalah kamu kepada Allah dan berlaku adillah kamu diantara anak-anakmu.” Nu’man pun mencabut kembali pemberiannya.” (HR Bukhari).
Nabi bersabda, “barang siapa yang mengatakan kepada anak kecil, “kemarilah aku beri sesuatu” namun dia tidak memberikannya, maka itu adalah sebuah kedustaan” (HR Ahmad).
Dari hadist tersebut dapat kita simpulkan bahwa salah satu yang diajarkan Nabi kepada kita untuk mendidik anak ialah kita sebagai orangtua harus menjadi suri tauladan yang baik dalam bersikap dan berperilaku jujur.
Anak selalu melihat dan memperhatikan sikap dan perilaku figure. Figure yang paling dekat dengannya adalah orang tua. Untuk itu penting sekali orang tua memberikan keteladanan. Selain itu, anak juga perlu diperkenalkan dengan sosok teladan-teladan yang lainnya dan yang paling utama adalah Rasulullah SAW. (Meria, 2012). Kata uswah atau teladan terdapat dalam Surat Al-Ahzab ayat 21 yang menerangkan keteladanan Rasulullah “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (Hidayat, 2015)
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Konsep pendidikan islami adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam (konsep pemikiran dan pandangan hidup tertentu yang telah membentuk pola pikir dan perilaku dalam suatu masyarakat), menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan memiliki keterampilan yang memadai dan terarah. Tujuan pendidikan Islami utamanya adalah untuk membentuk pribadi seorang muslim dan muslimah untuk menjadi hamba yang taat, tunduk dan patuh kepada Allah SWT. juga berorientasi kepada perwujudan suatu sikap yang selalu menghadirkan Allah SWT sebagai Tuhan yang selalu mengawasi setiap makhluk-Nya. Mendidik anak sejak dalam kandungan dimulai dari mendorong anak sejak masih dalam tulang sulbi ayah yaitu dengan bersenggama dimulai dengan menyebut nama Allah, mendo’akan anak ketika masih berupa nuthfah, dan dzikir untuk keselamatan bayi ketika lahir. Sedangkan metode nabi dalam mendidik anak yaitu; mengedepankan akidah pada diri anak, memperhatikan sholat anak, menjaga anak dari keterjerumusan dalam bahaya, menumbuhkan kepercayaan diri pada anak,mengarahkan anak pada perilaku terpuji, memberi balasan ketika anak berperilaku baik, menjauhkan anak dari sifat angkuh dan sombong, bersikap adil diantara anak-anak dan mendidik anak dengan teladan.
3.2 . Saran
Bagi pendidik : Dapat dijadikan suatu sumber acuan kaitannya dalam pembelajaran islami.
Bagi masyarakat : Dapat menjalin kerjasama antara masyarakat dengan guru maupun sebaliknya dalam mendidik anak dengan menggunakan metode seperti Rasulullah SAW. mendidik anak.
Bagi pemerintah : Dapat mendukung untuk memajukan dalam sarana dan prasana pembelajaran islami.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, N. (2015). Metode Keteladanan dalam Pendidikan Islam. Ta’allum: Jurnal Pendidikan Islam, 3(2), 135–150. https://doi.org/10.21274/taalum.2015.3.2.135-150
Jenuri, Hidayat, S., Robiansyah, F., Parhan, M., Tantowi, Y. A., & Subakti, G. E. (2019). PENGUATAN MATERI SEMINAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (SPAI). Bandung: GAPURA PRESS.
Latif, M. (2014). Konsep Pendidikan Syed Nuqaib Al Attas. Diakses dari
https://www.slideshare.net/mobile/bunfaris/konsep-pendidikan-syed-nuqaib-al-attas
Nuruzzahri, N. (2014). Pengajaran Ideal dalam Pendidikan Islam. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(1), 47–60. Retrieved from https://journal.scadindependent.org/index.php/jipeuradeun/article/view/9
Rasyim, A. I., & Syadi’yah, H. (2015). Pendidikan Anak Pranatal Menurut Ajaran Islam. Jurnal Aksioma Ad-Diniyah, 1–12.
Wulandari, A. (2019). Mendidik Anak ala Rasulullah. diakes dari https://www.kompasiana.com/ayuwulandari100599/5d879938097f3648d52518e2/orang-tua-wajib-tahu-mendidik-anak-ala-rasulullah
Zuhri, D. (2016). Akibat Angkuh. Retrieved from https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/16/10/14/of0e26301-akibat-angkuh
Zulkarnain, N. (2014). Pendidikan Anak Usia 0-10 Tahun (Telaah Buku Islamic Parenting Karya Syaikh Jamal Abdurrahman). Publikasi Karya Ilmiah.
Comments
Post a Comment